Talkshow Musaraina bersama Kejari Mentawai, dengan tema
SASARAINATV │TUAPEJAT - Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan
Keadilan Restoratif (“PKRI 15/2020”),
yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, koran, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri
Mentawai, Hendrio Suherman pada
porgram Talkshows Musaraina yang digelar Radio Sasaraina FM mengatakan Penghentian
penuntutan dilaksanakan dengan berasakan keadilan, kepentingan umum,
proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana , dan
biaya ringan. Penutupan demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal, Terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa
penuntutan pidana, Nebis in idem,
Pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali, atauTelah
ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (untuk tindak pidana tertentu,
maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan atau telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan
menggunakan pendekatan keadilan restoratif.
Hendrio menjelaskan, Penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan mempertimbangkan, Subjek, objek, kategori, dan ancaman
tindak pidana, Latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana, Tingkat
ketercelaan, Kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, Cost
and benefit penanganan
perkara, Pemulihan kembali pada keadaan semula; dan Adanya
perdamaian antara Korban dan Tersangka.
Sementara Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan
dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi
syarat-syarat Tersangka
baru pertama kali melakukan tindak pidana, Tindak pidana hanya diancam dengan
pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang
ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah), Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang
dilakukan oleh Tersangka dengan cara: Mengembalikan barang
yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban, Mengganti kerugian Korban, Mengganti
biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.
Hendrio
juga menegaskan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
dikecualikan untuk perkara, Tindak pidana terhadap keamanan negara,
martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat
serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan, Tindak pidana yang diancam
dengan ancaman pidana minimal, Tindak pidana narkotika, Tindak pidana
lingkungan hidup; danTindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi.
Lebih lanjut dijelaskan, Apabila upaya perdamaian diterima oleh
Korban dan Tersangka, selanjutnya Penuntut Umum akan membuat laporan yang
menyatakan upaya perdamaian diterima dan diberikan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk diteruskan sampai ke Kepala
Kejaksaan Tinggi. Namun, apabila upaya perdamaian ditolak maka Penuntut Umum, Menuangkan tidak tercapainya upaya
perdamaian dalam berita acara, Membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan
ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya, dan Melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.
Video Selengkapnya :