TfAoTUAoGUW9TSGlGUzoGfz8GA==
Light Dark
 Potensi Kebocoran Pajak dan retribusi Pariwisata

Potensi Kebocoran Pajak dan retribusi Pariwisata

Daftar Isi
×

Foto ilustrasi Surfing di Kabupaten Kepulauan Mentawai

Surf Tax atau dikenal dengan retribusi selancar adalah pembayaran bagi seluruh peselancar yang bermain selancar pada titik – titik selancar di Kepulauan Mentawai.


Retribusi ini adalah salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup potensial. Jika tidak ada ‘kebocoran’ loss, uang miliaran bisa masuk ke kas daerah. Kita coba hitung. Satu orang peselancar diwajibkan membayar tiket sebesar Rp. 2 juta untuk dapat bermain dalam areal selancar selama 15 hari. Jika kunjungan normal wisatawan 5000 orang saja /Tahun maka uang yang akan masuk ke kas daerah sebesar Rp. 2 juta X 5.000,- orang = Rp. 10 Miliar.


Bahkan dari sumber yang kita percayai jumlah peselancar itu lebih dari 10.000 orang. Mereka datang tidak hanya dengan kapal domestik seperti Mentawai Fast dan sebagainya. Tapi kedatangan mereka juga melalui kapal selancar seperti MV Indies Trader, Star Koat, dan banyak lagi.


Yang tidak terpantau adalah yang dengan kapal selancar tersebut, karena tiket selancar sudah dibelikan oleh pemandu wisatanya. Saat kapal itu diberangkatkan tidak ada yang memeriksa apakah semua wisatawan yang diatas kapal selancar tersebut sudah membayar tiket selancar. Terkadang ada yang berkilah, diantara 10 orang yang ikut diatas kapal tesebut mengaku hanya 4 orang saja yang bermain selancar, sehingga tiket hanya dibeli 4 orang, sisanya 6 orang mereka mengaku hanya menyelam atau rekreasi bukan berselancar. Ini yang sering terjadi, mereka yang 6 orang tersebut sebernarnya peselancar namun tidak membayar tiket, lalu saat kedapatan main surfing mereka pakai tiket temannya, dan ini salah satu resiko loss.


Yang paling miris, peselancar tersebut yang pakai kapal selancar menginap diatas kapal atau mereka tidak turun kedaratan. Kapal tersebut tambat tidak jauh dari titik selancar. Sehingga mereka dapat berpindah-pindah dari titik selancar satu ke titik selancar lainnya.


Pertanyaanya apakah boleh mereka menginap diatas kapal?. Sementara kapal sipil atau komersil tujuannya dari pelabuhan ke pelabuhan, lalu kenapa tidak tambat dipelabuhan.


Kalau tambat di pelabuhan minimal masyarakat Mentawai yang pemilik spead boad bisa dapat carteran mengantarkan peselancar dari pelabuhan ke titik selancar. Apa ruginya Mentawai jika peselancar menginap diatas kapal selancar ? Yang pasti pajak hotel tidak dapat dipungut karena tidak ada aturan memungut pajak penginapan diatas kapal. Selanjutnya dalam kapal selancar ada cafe dan restoran yang menjual alkohol diatas 5 %, dan pajak nya juga tidak bisa dipungut. Pajak cafe dan restoran juga tak bisa dipungut. Itu salah satu sebagian kecil dari loss sumber PAD diatas kapal.


Selain itu usaha industri perdagangan masyarakat didaratan tidak terimbas dari kehadiran peselancar yang hanya diatas kapal, dan kalaupun turun sesekali karena mereka menginap diatas kapal bukan di resort atau penginapan yang dimiliki masyarakat Mentawai.


Celakanya semua bahan ransum/logistik makanan dan bahan pendukung masakan di bawa dari Padang. Pisangpun mereka beli dari Padang, sehingga kita hanya dapat imbas sampah dan kotoran mereka yang mereka buang dari atas kapal. Apa untungnya?,


seharusnya kapal selancar hanya mengantarkan peselancar cukup sampai pelabuhan saja. Agar kehadiran peselancar memberi imbas terhadap perdagangan masyarakat Mentawai.


Terkadang kita dibodoh-bodohi, dibilang orang asing tak bisa memakan makanan kita, padahal banyak diantara mereka yang sudah merasa nikmat dengan masakan kita, Soal apakah makanan tersebut higienis bersih, dan sehat menurut perut mereka itu kan tugas Dinas Kesehatan yang bekerjasama dengan Dinas Perdagangan Usaha Masyarakat Kecil dan Menegah (UMKM). Lalu kenapa Dinas Pariwisata tidak bisa memediatori OPD – OPD terkait seperti Perindustrian dan UMKM, Kesehatan, atau bahkan Ketenagakerjaan.


Ini dibutuhkan INOVASI seorang kepala dinas. Jangankan untuk ber-INOVASI, mencontoh yang sudah ada dari daerah kabupaten/kota saja tidak bisa.


Tugas berat pak Bupati dalam membenahi kesembarutan tata kelola kepariwisataan di Kepulauan Mentawai. Padahal kita berharap PAD terbesar bisa ditarik dari sektor kepariwisataan, karena kita tak punya tambang minyak, batu bara, apalagi emas. Selancar yang saat ini sudah di atur dalam Peraturan daerah agar memberikan dukungan terhadap PAD sudah ada. Lalu kenapa mentok sampai disitu, padahal bisa ditarik restribusi pengelolaan tempat wisata, retribusi pemandu wisata dan banyak lagi karena kalau tidak salah ada 10 jenis usaha pariwisata yang tercantum dalam Undang Undang Kepariwisataan.


Selain itu, banyak para peselancar yang datang itu ikut bekerja pada sejumlah resort menjadi juru masak atau pemandu atau pelatih selancar, namun mereka tidak memiliki KITAS sejenis kartu sebagai pekerja asing. Mereka cukup cerdik hanya mengantongi VISA wisata sehingga bebas membayar pajak.


Persoalan lain, tenaga kerja khususnya orang Mentawai yang dipekerjakan pada resort-resort itu umumnya tidak memiliki perjanjian kerja atau kontrak, sehingga pembayaran gaji atau hak-hak mereka dilakukan semena-mena sesuka pengelola resort. Para pekerja orang Mentawai tidak bisa menuntut hak nya. Ini baru sebagian dari persoalan kepariwisataan dan ketenagakerjaan di Kepulauan Mentawai.


Saat ini saya dalam perjalanan menuju Siberut hampir 30% penumpang kapal M fast di isi oleh Wisatawan Asing, semoga Mereka sudah mengikuti prosedur yang ada, sehingga Mereka bisa menikmati Liburan di Mentawai dg senang hati.


Mengisi waktu dalam perjalanan menuju Siberut , dengan mengurai beberapa persoalan – persoalan Kepariwisataan di Mentawai, sehingga kedepan terjadi Perbaikan dan peningkatan PAD terkhusus dari sektor pariwisata yang menjadi Salah satu Lokomotif Ekonomi Masyarakat Mentawai [ Rikki Wisam - alito.id ]